Pages

Senin, 24 Mei 2010

PROGRAM ELIMINASI GAUSS PADA MATLAB

%Program Eliminasi Gauss
%DEWI JUMLIANA ML/MTK 08 UIN ALAUDDIN MAKASSAR
function x = GAUSS(n, A, b)
% fungsi untuk melakukan eliminasi Gauss
% untuk menyelesaikan SPL Ax = b
% n = dimensi matriks
% A = matriks koefisien
% b = vektor ruas kanan
n=input('masukkan dimensi matriks: ')
A=[3 -0.1 -0.2;0.1 7 -0.3;0.3 -0.2 10];
b=[7.85;-19.3;71.4];
vb = (1:n);
for i=1:n-1
% proses vipoting
ib = vb(i);
maxi = abs(A(ib,i));
bar = i;
ibx = ib;
for bars=i+1:n
ib=vb(bars);
if (abs(A(ib,i))) > maxi
maxi = abs(A(ib,i));
bar = bars;
ibx = ib;
end
end
ib = vb(i);
vb(i) = ibx;
vb(bar) = ib;
% proses eliminasi
ib = vb(i);
for j=i+1:n
ibx = vb(j);
m = -A(ibx,i) / A(ib,i);
for k=i:n
A(ibx,k) = A(ibx,k) + m*A(ib,k);
end
b(ibx) = b(ibx) + m*b(ib);
end
end
%subsitusi balik
ib = vb(n);
x(n) = b(ib)/A(n,n);
for i=n-1:-1:1
ib = vb(i);
sum = b(ib);
for j=i+1:n
sum = sum - A(ib,j)*x(j);
end
x(i) = sum /A(ib,i);
end
return
PROGRAM DEKOMPOSISI LU PADA MATLAB

%Program Dekomposisi LU
%DEWI JUMLIANA ML/MTK 08 UIN ALAUDDIN MAKASSAR
A=[3 -0.1 -0.2;0.1 7 -0.3;0.3 -0.2 10]
b=[7.85;-19.3;71.4]
det(A);
[L,U]=lu(A)
%karena A=LU maka x=inv(U*inv(L)*B
x=inv(U)*inv(L)*b
CONTOH PROGRAM MATRIKS BALIKAN PADA MATLAB

A=[3 -0.1 -0.2;0.1 7 -0.3;0.3 -0.2 10]
b=[7.85;-19.3;71.4]
det(A)
inv(A);
x=inv(A)*b

Minggu, 23 Mei 2010

function x = SEIDEL(n, A, b)
%DEWI JUMLIANA ML/MATEMATIKA 08 UIN ALAUDDIN MAKASSAR
% Fungsi untuk melakukan iterasi Gauss-Seidel
% mencari solusi sistem persamaan linier Ax = b
% n = dimensi vektor x
% A = matriks koefisien
% x = vektor variabel
% b = vektor ruas kanan
% pivoting matriks A
n=input('dimensi vektor x: ')
A=[3 -0.1 -0.2;0.1 7 -0.3;0.3 -0.2 10];
b=[7.85;-19.3;71.4];
vb = 1:n;
for i=1:n
ib=vb(i);
bar=i;
ibx=ib;
m = abs(A(ib,i));
for j=i+1:n
ib=vb(j);
if (abs(A(ib,i))>m)
m = abs(A(ib,i));
bar=j;
ibx=ib;
end
end
ib=vb(i);
vb(i)=ibx;
vb(bar)=ib;
end
% proses iterasi
k=0;
for i=1:n
xk(i)=0.0;
end
tol=5.0e-5;
delta=1.6e-4;
maxstep=300;
while ((ktol))
for i=1:n
ib = vb(i);
m = b(ib);
for j=i+1:n
m = m - A(ib,j)*xk(j);
end
for j=1:i
if (i==j)
x(i) = m/A(ib,i);
else
m = m - A(ib,j)*x(j);
end
end
end
% periksa error
delta=0.0;
for i=1:n
a = (x(i) - xk(i));
dx(i) = abs(a);
xk(i) = x(i);
if (dx(i) > delta)
delta = dx(i);
end
end
k = k + 1;
fprintf('iterasi ke-%g ',k);
x
end
return

Jumat, 21 Mei 2010

OBLIGASI

A. (Bond) Obligasi
1.Pengertian
Obligasi adalah Surat utang yang berjangka waktu lebih dari satu tahun dan bersuku bunga tertentu, yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk menarik dana dari masyarakat, guna pembiayaan perusahaan atau oleh pemerintah untuk keperluan anggaran belanjanya (debenture bond).
2.Jenis Obligasi yang Diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia :
a.Corporate Bonds : obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan, baik yang berbentuk badan usaha milik negara (BUMN), atau badan usaha swasta.
b.Government Bonds : obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah.
c.Retail Bonds : obligasi yang diperjual belikan dalam satuan nilai nominal yang kecil, baik corporate bonds maupun government bonds.
3.Karakteristik Obligasi
a.Nilai Nominal (Face Value) adalah nilai pokok dari suatu obligasi yang akan diterima oleh pemegang obligasi pada saat obligasi tersebut jatuh tempo.
b.Kupon (the Interest Rate) adalah nilai bunga yang diterima pemegang obligasi secara berkala (kelaziman pembayaran kupon obligasi adalah setiap 3 atau 6 bulanan) Kupon obligasi dinyatakan dalam annual prosentase.
c.Jatuh Tempo (Maturity) adalah tanggal dimana pemegang obligasi akan mendapatkan pembayaran kembali pokok atau Nilai Nominal obligasi yang dimilikinya. Periode jatuh tempo obligasi bervariasi mulai dari 365 hari sampai dengan diatas 5 tahun. Obligasi yang akan jatuh tempo dalam waktu 1 tahun akan lebih mudah untuk di prediksi, sehingga memilki resiko yang lebih kecil dibandingkan dengan obligasi yang memiliki periode jatuh tempo dalam waktu 5 tahun. Secara umum, semakin panjang jatuh tempo suatu obligasi, semakin tinggi Kupon / bunga nya.
d.Penerbit/Emiten (Issuer) Mengetahui dan mengenal penerbit obligasi merupakan faktor sangat penting dalam melakukan investasi Obligasi Ritel. Mengukur resiko / kemungkinan dari penerbit obigasi tidak dapat melakukan pembayaran kupon dan atau pokok obligasi tepat waktu (disebut default risk) dapat dilihat dari peringkat (rating) obligasi yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat seperti PEFINDO atau Kasnic Indonesia.
4.Harga Obligasi
Berbeda dengan harga saham yang dinyatakan dalam bentuk mata uang, harga obligasi dinyatakan dalam persentase (%), yaitu persentase dari nilai nominal.
Ada 3 (tiga) kemungkinan harga pasar dari obligasi yang ditawarkan, yaitu:
a.Par (nilai Pari) : Harga Obligasi sama dengan nilai nominal Misal: Obligasi dengan nilai nominal Rp 50 juta dijual pada harga 100%, maka nilai obligasi tersebut adalah 100% x Rp 50 juta = Rp 50 juta.
b.At premium (dengan Premi) : Harga Obligasi lebih besar dari nilai nominal Misal: Obligasi dengan nilai nominal RP 50 juta dijual dengan harga 102%, maka nilai obligasi adalah 102% x Rp 50 juta = Rp 51 juta.
c.At discount (dengan Discount) : Harga Obligasi lebih kecil dari nilai nominal Misal: Obligasi dengan nilai nominal Rp 50 juta dijual dengan harga 98%, maka nilai dari obligasi adalah 98% x Rp 50 juta = Rp 49 juta.

Semoga bermanfaat untuk kita semua.......!!!!!!!!!!terkhusus tuk anak MTK )08 Matematika Keuangan.CAYOOOOOOOOOOOOOOOOo

BOM WTC

RAHASIA BESAR DI BALIK RUNTUHNYA WTC

Coba perhatikan dengan seksama gambar berikut ini.....!!!!setelah anda perhatikan, yang selama ini,berita yang beredar dan telah tertulis dalam sejarah dunia bahkan dalam sejarah Amerika Serikat bahwa WTC hancur karena ditabrak oleh pesawat. Nah anda lihat sendiri pada gambar ini, pesawat belum menabrak gedung WTC sementara WTC sendiri sudah hancur duluan. Apa yang menyebabkan RUNTUHNYA WTC????????
Pertanyaan itu selayaknya kita jawab, informasi dan fakta-fakta telah mulai diketahui oleh para ahli. Dibalik runtuhnya WTC ternyata hanya rekayasa pihak tertentu. Dan masih banyak temuan-temuan penting yang dapat anda browsing.........Semoga Warga Amerika Serikat dan Dunia Sadar!!!!!!! Amin.........
Wassalam.............

Selasa, 18 Mei 2010


Cerita Pendidikan

ANALISIS PENDIDIKAN GRATIS DAN EFEK SOSIALNYA TERHADAP MUTU PENDIDIKAN DAN KESEJAHTERAAN KELUARGA

Pendidikan gratis, kalimat ini sangat sakral bagi masyarakat yang ingin mengenyam pendidikan tapi tak mampu. Kalimat ini bagai angin segar bagi mereka sekaligus membuka harapan baru untuk masa depan mereka yang tadinya tak punya harapan kini menjadi terang dengan harapan itu.

Di lain pihak Masalah pendidikan gratis begitu kontroversial di lingkungan kita. Hal ini tidak lain karena perealisasian program ini sangat menyimpang dari yang kita harapkan. Katanya pendidikan gratis, tapi nyatanya orang tua masih dibebankan biaya sekolah anaknya. Pungutan yang tak jelas disodorkan di balik kedok pendidikan gratis. Konsep pendidikan gratis itu sendiri bagaimana, itu pun belum jelas disosialisasikan ke masyarakat dan penyelenggara pendidikan.

Pendidikan gratis, kenapa masih ada juga masyarakat kita yang tidak menyekolahkan anaknya. Pendidikan gratis, Itu katanya tapi mengapa masyarakat kita belum merasa terbantu dengan adanya program ini. Apa yang salah dari program ini?

Nah, pada makalah ini penulis akan menganalisis sedikit mengapa hal ini bisa terjadi di tengah program pemerintah yang begitu sensasional ini dan memakan APBN Negara yang begitu besar???

A. Pendidikan Gratis dan Badan Hukum di Indonesia
Rencana Depdiknas untuk membagi jalur pendidikan menjadi dua kanal; jalur pendidikan formal mandiri dan formal standar, menuai banyak protes. Yang menjadi keberatan khalayak, bukan saja itu dinilai berdasarkan atas perbedaan kelas sosial dan ekonomi, namun juga atas dasar kemampuan akademik, yang berasumsi bahwa manusia bodoh tidak punya hak untuk mendapatkan pendidikan bermutu dan berkualitas.

Alhasil, yang terjadi, pendidikan dikelola bak perusahaan di mana pendidikan yang berkualitas diperuntukan bagi pihak yang punya kemampuan finansial. Sementara orang miskin akan tetap dengan kondisinya. Dari sini pemerintah terkesan ingin melepas tanggung jawab atas terwujudnya pendidikan (khususnya pendidikan dasar) gratis, bermutu, dan berkualitas bagi rakyat Indonesia. Ujung semua ide Depdiknas, pada Kabinet Indonesia Bersatu, sepertinya menuju pada terwujudnya privatiasi pendidikan, di mana tanggung jawab pemerintah terkurangi, bahkan dilepas sama sekali.

Nuansa "privatisasi" atau upaya pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam menyelenggarakan dan membiayai pendidikan, terutama pendidikan dasar sembilan tahun secara gratis dan bermutu, sudah terlihat dalam legalitas pendidikan. Aromanya dimulai dari munculnya sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Hal itu terlihat dari turunnya derajat "kewajiban" pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan dasar rakyat, menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. Ini terlihat pada Pasal 9 UU Sisdiknas, yang menyatakan bahwa ""masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan", dan Pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang ada.

Penurunan derajat kewajiban pemerintah juga terlihat di Pasal 11 UU Sisdiknas, Ayat (1) dan (2). Dengan halus, pasal ini secara bertahap ingin menurunkan kadar "kewajiban" pemerintah menjadi "sunnah", dengan kata-kata "menjamin terselenggarakannya" pendidikan dari suatu "keharusan". Lengkapnya dinyatakan dalam Ayat (1), "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggarakannya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi", dan juga Ayat (2), "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggarakannya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun".

Padahal, masih dalam UU Sisdiknas, tepatnya pada Pasal 1, Bab 1, tentang ketentuan umum, Ayat (18), dengan jelas menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab tunggal terhadap terselenggarakannya wajib belajar bagi warga negara Indonesia. Berikut bunyi ayatnya, ""Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah".

Gambaran di atas terasa aneh, sebab dalam UUD 1945 yang diamandemen, menyatakan secara tegas pada Pasal 31 Ayat (2), ""setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Hal itu dipertegas di Ayat (4), "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional". Kemudian, diperjelas lagi pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) penjelas dari UU Sisdiknas Pasal 3 Ayat (3), dengan menyatakan bahwa "setiap warga negara usia wajib belajar berhak mendapatkan pelayanan program wajib belajar yang bermutu tanpa dipungut biaya".

KEMBALI kepada penerapan undang-undang di bawah UUD 1945 yang mengamanatkan pelaksanaan pendidikan dasar gratis, ternyata sudah diakui pemerintah sendiri akan ketidakmampuannya. Hal itu tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menyatakan dengan tegas bahwa pemerintah belum mampu menyediakan pelayanan pendidikan dasar secara gratis (RPJM, halaman IV.26-4).

Kemudian, pengakuan yang sama juga terungkap dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Wajib Belajar, di mana pemerintah mulai mengikutkan masyarakat dalam pembiayaan sekolah dasar. Hal itu diungkap pada Pasal 13 Ayat (3), ""Masyarakat dapat ikut serta menjamin pendanaan penyelenggaraan program wajib belajar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat".

Ujung dari pelegalan privatisasi pendidikan, terlihat dalam RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP). Dalam RUU tersebut secara nyata pemerintah ingin berbagi dalam penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat.

Hal itu terlihat dalam Pasal 1 Ayat (1) RUU BHP yang berbunyi, "Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat, berfungsi memberikan pelayanan pendidikan, berprinsip nirlaba, dan otonom". Kemudian pada Pasal 36 Ayat (1), secara terus terang pemerintah menyatakan bahwa pendanaan awal sebagai investasi pemula untuk pengoperasian Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM) berasal dari masyarakat maupun hibah, baik dari dalam atau luar negeri.

Bahkan, pemerintah secara gamblang mereposisi posisinya dari penanggung jawab tunggal pendidikan dasar gratis menjadi hanya "fasilitator". Lengkapnya terungkap dalam bab pertimbangan pada butir (b) di awal RUU BHP yang berbunyi, "bahwa penerapan prinsip otonomi, akuntabilitas, dan efisiensi dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional, menuntut perlunya reposisi peran pemerintah dari penyelenggara menjadi pendiri dan fasilitator untuk memberdayakan satuan pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan". Dengan berlakunya RUU BHP, terkesan pemerintah ingin mereposisi perannya yang sudah baku di UUD 1945 Pasal 31 dengan melepas tanggung jawab atas penanganan pendidikan dasar yang gratis dan bermutu.

Dengan sejumlah legalitasnya, ke depan akan tampak di hadapan mata sejumlah model privatisasi pendidikan, baik yang nyata maupun terselubung. Bentuk nyata yang sudah terjadi ialah adanya cost sharing, di mana pembiayaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama masyarakat, seperti dibentuknya komite sekolah.

B. Efek Sosial Pendidikan Gratis Terhadap Mutu Pendidikan

Salah satu dampak dari pendidikan gratis adalah munculnya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi arus lainnya. Dalam hal ini, sekolah "dipaksa" untuk melengkapi dirinya dengan komputer dan peralatan canggih lainnya, seperti AC (pendingin ruangan) dan televisi. Akibat sampingan dari hal itu, seperti disinyalir anggota DPRD DKI Jakarta, seluruh sekolah penerima bantuan block grant di Jakarta telah menyalahi penggunaannya dengan mengalirkan bantuan untuk pembelian alat di luar keperluan anak didik (Kompas, 9 April 2005), yaitu pembelian alat yang bisa dijadikan alasan untuk pemenuhan KBK. Dari sini timbul kesan bahwa penggunaan sistem KBK, bila belum siap infrastruktur dan SDM-nya, akan menjadi alat industrialisasi.

Kemudian, pada sisi lain, pemerintah juga memberlakukan sistem "guru kontrak". Ke depan, tenaga pengajar layaknya pekerja pabrik yang bisa diputus kerja bila kontraknya selesai, sementara pemerintah tidak mau menanggung biaya di luar itu. Selain itu, kebijakan otonomi daerah juga menjadi alasan pemerintah untuk berbagi beban dalam pendanaan pendidikan. Walaupun dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang terjadi pengalihan kekuasaan dari pusat ke pemerintah daerah. Alhasil, pelaksanaan pendidikan dasar gratis dan bermutu kini berada di persimpangan jalan, sebab kelangsungannya sebagian menjadi wewenang pemerintah daerah.

Apalagi dengan adanya RUU BHP, pendidikan malah dijadikan sarana untuk menjadi penambahan pendapatan asli daerah (PAD). Hal itu dimungkinkan karena dengan adanya RUU tersebut, nantinya semua satuan pendidikan-termasuk pendidikan dasar dan menengah-wajib menjadi Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM), seperti yang tertera dalam Pasal 46 Ayat (4). Dengan menjadi BHPDM, maka pihak sekolah wajib meminta izin kepada pihak pemda. Di sinilah kekhawatiran akan pemanfaatan perizinan pendidikan menjadi pemasukan PAD akan terjadi.

Terakhir, dengan berubahnya status satuan pendidikan menjadi BHPDM maka nantinya tidak ada lagi sekolah dasar negeri, namun yang tersisa ialah sekolah yang dimiliki masyarakat ataupun pemda. Sementara pemerintah, di sisi lain, lepas tangan dan berkonsentrasi mengurusi biaya beban utang luar negeri yang kian membengkak. Di sinilah hal penting sedang terjadi, yaitu pelanggaran terhadap UUD 1945, khususnya Pasal 31, secara nyata dilakukan dengan sistematis oleh para penyusun UU dan PP, serta RUU di bawah UUD 1945.

Bila pemerintah ingin melepaskan tanggung jawabnya terhadap pelaksanaan pendidikan dasar gratis dan bermutu, maka UUD 1945 Pasal 31 perlu diamandemen. Bila hal itu tidak dilakukan, maka bagi yang tidak menjalankannya dianggap melanggar UUD 1945.

Pada dataran implementasi, pendidikan gratis mengandung sejumlah persoalan. Dari sisi kata gratis, benarkah pendidikan dapat benar-benar gratis. Masyarakat menafsirkan kata gratis alias tidak perlu membayar sama sekali. Sementara penjelasan Mendiknas Bambang Sudibyo (27/4) bahwa yang dimaksud dengan pendidikan gratis hanyalah pembebasan dari biaya SPP.

Bukan gratis versi masyarakat, melainkan versi pemerintah. Tetap ada pembiayaan-pembiayaan pribadi. Artinya, uang gedung, pengadaan buku, perlengkapan sekolah, ekstrakurikuler, ujian sekolah, bahkan praktikum pasti dibebankan.

Di Jawa Tengah, promosi gencar pendidikan gratis membawa keresahan bagi sekolah yang diselenggarakan swasta, karena sekolah gratis hanya ditujukan pada sekolah pemerintah. Jawaban bernada menyudutkan, kalau sekolah swasta ingin mendapat kesempatan pendidikan gratis, maka “dinegerikan” saja bukan alasan yang tepat. Pendirian sekolah swasta mempunyai perjalanan panjang dan kontribusi mereka pada pendidikan negeri ini tidak kecil. Maka, jika hanya demi pendidikan gratis, apalagi hanya komponen SPP, tentu tidak masuk akal. Namun, harus dicatat, iklan yang demikian gencar bisa merusak fair play dalam penerimaan siswa baru. Karena gencar diiklankan menjelang penerimaan siswa baru bisa jadi banyak anak berbondong-bondong masuk sekolah negeri.

Ironisnya, pelaksanaan pendidikan gratis sangat bergantung pada komitmen pejabat di kabupaten/kota plus ketersediaan anggaran. Meski iklan gencar, tapi kalau pejabatnya tidak peduli, mustahil ada realisasinya. Jika kebetulan sebuah kota/kabupaten mempunyai dana yang cukup, maka pendidikan gratis dapat dilaksanakan sepenuhnya. Maka perlakuan terhadap pendidikan gratis antardaerah tidak dapat disamakan begitu saja.

Kebijakan pendidikan gratis terbukti membuat masyarakat lebih reaktif terhadap pendidikan. Meski ada iklan pendidikan gratis, namun pungutan dari sekolah semakin membabi-buta. Di Semarang, pernah terjadi waktu seorang siswa meminta sekolah gratis justru dijawab guru, “minta ke koran atau televisi yang gencar memberitakan sekolah gratis.”

Penduduk mengistilahkan pungutan sebagai dampak pendidikan gratis sebagai “pungutan liar”, karena tidak lagi disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Hal ini sebanding dengan pernyataan iklan pendidikan gratis yang menyebabkan peran serta dan partisipasi masyarakat dalam pendidikan menurun. Masyarakat tidak mudah diajak untuk berpartisipasi dalam pendidikan. Situasi seperti ini dalam jangka panjang merugikan masyarakat sekolah itu sendiri.

Dari semua hal tersebut di atas, bagaimana mutu pendidikan di Negara kita bisa meningkat dengan adanya program ini sementara para penyelenggara asyik memperkaya diri dengan memanfaatkan moment ini.

C. Efek Sosial Pendidikan Gratis Terhadap Kesejahteraan Keluarga

Kebijakan pendidikan gratis telah diputuskan. Dana yang disediakan cukup besar. Dengan alokasi 20 persen total biaya pendidikan saat ini Rp 207 triliun. Rinciannya Rp 107 triliun gaji guru, Rp 60 triliun khusus operasional Depdiknas, dan Rp 16 triliun untuk pembiayaan BOS. Meski anggaran yang disediakan besar, pernyataan gratis tidak memenuhi semua kegiatan pendidikan.

Dana itu kelihatannya besar. Tetapi, tengok, misalnya, subsidi pendidikan bagi 22.295 siswa SD dan SMP di Jawa Tengah yang menghabiskan dana Rp 11 triliun pada 2009 (bdk. Taruna, 2009). Artinya, tanpa partisipasi masyarakat mustahil pendidikan gratis dapat terlaksana. Sekolah bermutu tidak pernah bisa gratis, karena berpengaruh terhadap kerja keras siswa dan orangtua meraih pendidikan.

Karena kata gratis merupakan kata yang menjebak dan memberikan harapan besar kepada masyarakat, akan lebih tepat kalau kata itu diganti sesuai realitas. Misalnya, pendidikan yang disubsidi. Atau pendidikan yang terjangkau. Kesan bombastis melekat dalam ungkapan gratis, karena kenyataan pungutan sekolah sering lebih mahal dari komponen yang digratiskan. Kata gratis memang mudah sekali diklaim keberhasilan elite politik tertentu. Padahal, fakta di lapangan gratis, tetapi masih banyak pungutan.

Penyelenggaraan pendidikan bermutu tidak lepas dari partisipasi masyarakat. Pernyataan Gubernur Jawa Tengah yang sempat memancing konflik dengan Komisi X DPR mewakili realitas masyarakat. Kata gratis membuat masyarakat enggan berpartisipasi sekaligus membuat masyarakat kian bergantung. Selama ini, masyarakat mengerti gratis tanpa pungutan tambahan, seperti sekarang ini. Penulis sepakat para tokoh yang sekarang menjadi “orang” di negeri ini bukanlah produk pendidikan gratis.

Untuk mengatasi kesenjangan pendidikan, tidakkah lebih baik, misalnya, pemerintah menerapkan konsep subsidi silang yang sudah lama dirintis oleh para penyelenggara pendidikan swasta? Mereka cukup berpengalaman mengelola subsidi silang dari anak-anak mampu kepada anak-anak miskin.

Model ini lebih berkeadilan daripada mengkampanyekan sekolah gratis. Masyarakat dan terutama orangtua adalah pilar penting pendidikan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Setiap program yang dibuat, tentunya akan menimbulkan dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif. Begitu pula dengan program pendidikan gratis, terdapat banyak dampak yang ditimbulkan.

Adapun dampak positif yang dapat terjadi adalah :

1. Meratanya pendidikan di Indonesia

2. Tingkat pendidikan di Indonesia akan meningkat

3. Mencerdaskan para penerus bangsa

4. Meningkatkan mutu dan kualitas sumber daya manusia

5. Negara dapat mengolah sumber daya alam sendiri tanpa bantuan pihak asing

6. Tingkat pengangguran akan berkurang

7. Tingkat kemiskinan akan turun

8. Memajukan pendidikan dan perekonomian bangsa

Selebihnya dampak negatif yang dapat terjadi adalah :

1. Kurang dapat berkembang karena biaya operasional sekolah sangat tergantung dari bantuan pemerintah

2. Orangtua tidak dapat menuntut banyak karena merasa telah mendapatkan kemudahan (pendidikan gratis)

3. Dana yang dikucurkan pemerintah menjadi sia-sia, jika orangtua kurang mendukung / memotivasi anaknya untuk bersekolah

4. Terjadinya penyelewengan dana jika kurangnya pengawasan yang ketat.


ANALISIS PENDIDIKAN GRATIS DAN EFEK SOSIALNYA TERHADAP MUTU PENDIDIKAN DAN KESEJAHTERAAN KELUARGA

Pendidikan gratis, kalimat ini sangat sakral bagi masyarakat yang ingin mengenyam pendidikan tapi tak mampu. Kalimat ini bagai angin segar bagi mereka sekaligus membuka harapan baru untuk masa depan mereka yang tadinya tak punya harapan kini menjadi terang dengan harapan itu.

Di lain pihak Masalah pendidikan gratis begitu kontroversial di lingkungan kita. Hal ini tidak lain karena perealisasian program ini sangat menyimpang dari yang kita harapkan. Katanya pendidikan gratis, tapi nyatanya orang tua masih dibebankan biaya sekolah anaknya. Pungutan yang tak jelas disodorkan di balik kedok pendidikan gratis. Konsep pendidikan gratis itu sendiri bagaimana, itu pun belum jelas disosialisasikan ke masyarakat dan penyelenggara pendidikan.

Pendidikan gratis, kenapa masih ada juga masyarakat kita yang tidak menyekolahkan anaknya. Pendidikan gratis, Itu katanya tapi mengapa masyarakat kita belum merasa terbantu dengan adanya program ini. Apa yang salah dari program ini?

Nah, pada makalah ini penulis akan menganalisis sedikit mengapa hal ini bisa terjadi di tengah program pemerintah yang begitu sensasional ini dan memakan APBN Negara yang begitu besar???

A. Pendidikan Gratis dan Badan Hukum di Indonesia
Rencana Depdiknas untuk membagi jalur pendidikan menjadi dua kanal; jalur pendidikan formal mandiri dan formal standar, menuai banyak protes. Yang menjadi keberatan khalayak, bukan saja itu dinilai berdasarkan atas perbedaan kelas sosial dan ekonomi, namun juga atas dasar kemampuan akademik, yang berasumsi bahwa manusia bodoh tidak punya hak untuk mendapatkan pendidikan bermutu dan berkualitas.

Alhasil, yang terjadi, pendidikan dikelola bak perusahaan di mana pendidikan yang berkualitas diperuntukan bagi pihak yang punya kemampuan finansial. Sementara orang miskin akan tetap dengan kondisinya. Dari sini pemerintah terkesan ingin melepas tanggung jawab atas terwujudnya pendidikan (khususnya pendidikan dasar) gratis, bermutu, dan berkualitas bagi rakyat Indonesia. Ujung semua ide Depdiknas, pada Kabinet Indonesia Bersatu, sepertinya menuju pada terwujudnya privatiasi pendidikan, di mana tanggung jawab pemerintah terkurangi, bahkan dilepas sama sekali.

Nuansa "privatisasi" atau upaya pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam menyelenggarakan dan membiayai pendidikan, terutama pendidikan dasar sembilan tahun secara gratis dan bermutu, sudah terlihat dalam legalitas pendidikan. Aromanya dimulai dari munculnya sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Hal itu terlihat dari turunnya derajat "kewajiban" pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan dasar rakyat, menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. Ini terlihat pada Pasal 9 UU Sisdiknas, yang menyatakan bahwa ""masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan", dan Pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang ada.

Penurunan derajat kewajiban pemerintah juga terlihat di Pasal 11 UU Sisdiknas, Ayat (1) dan (2). Dengan halus, pasal ini secara bertahap ingin menurunkan kadar "kewajiban" pemerintah menjadi "sunnah", dengan kata-kata "menjamin terselenggarakannya" pendidikan dari suatu "keharusan". Lengkapnya dinyatakan dalam Ayat (1), "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggarakannya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi", dan juga Ayat (2), "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggarakannya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun".

Padahal, masih dalam UU Sisdiknas, tepatnya pada Pasal 1, Bab 1, tentang ketentuan umum, Ayat (18), dengan jelas menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab tunggal terhadap terselenggarakannya wajib belajar bagi warga negara Indonesia. Berikut bunyi ayatnya, ""Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah".

Gambaran di atas terasa aneh, sebab dalam UUD 1945 yang diamandemen, menyatakan secara tegas pada Pasal 31 Ayat (2), ""setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Hal itu dipertegas di Ayat (4), "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional". Kemudian, diperjelas lagi pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) penjelas dari UU Sisdiknas Pasal 3 Ayat (3), dengan menyatakan bahwa "setiap warga negara usia wajib belajar berhak mendapatkan pelayanan program wajib belajar yang bermutu tanpa dipungut biaya".

KEMBALI kepada penerapan undang-undang di bawah UUD 1945 yang mengamanatkan pelaksanaan pendidikan dasar gratis, ternyata sudah diakui pemerintah sendiri akan ketidakmampuannya. Hal itu tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menyatakan dengan tegas bahwa pemerintah belum mampu menyediakan pelayanan pendidikan dasar secara gratis (RPJM, halaman IV.26-4).

Kemudian, pengakuan yang sama juga terungkap dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Wajib Belajar, di mana pemerintah mulai mengikutkan masyarakat dalam pembiayaan sekolah dasar. Hal itu diungkap pada Pasal 13 Ayat (3), ""Masyarakat dapat ikut serta menjamin pendanaan penyelenggaraan program wajib belajar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat".

Ujung dari pelegalan privatisasi pendidikan, terlihat dalam RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP). Dalam RUU tersebut secara nyata pemerintah ingin berbagi dalam penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat.

Hal itu terlihat dalam Pasal 1 Ayat (1) RUU BHP yang berbunyi, "Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat, berfungsi memberikan pelayanan pendidikan, berprinsip nirlaba, dan otonom". Kemudian pada Pasal 36 Ayat (1), secara terus terang pemerintah menyatakan bahwa pendanaan awal sebagai investasi pemula untuk pengoperasian Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM) berasal dari masyarakat maupun hibah, baik dari dalam atau luar negeri.

Bahkan, pemerintah secara gamblang mereposisi posisinya dari penanggung jawab tunggal pendidikan dasar gratis menjadi hanya "fasilitator". Lengkapnya terungkap dalam bab pertimbangan pada butir (b) di awal RUU BHP yang berbunyi, "bahwa penerapan prinsip otonomi, akuntabilitas, dan efisiensi dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional, menuntut perlunya reposisi peran pemerintah dari penyelenggara menjadi pendiri dan fasilitator untuk memberdayakan satuan pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan". Dengan berlakunya RUU BHP, terkesan pemerintah ingin mereposisi perannya yang sudah baku di UUD 1945 Pasal 31 dengan melepas tanggung jawab atas penanganan pendidikan dasar yang gratis dan bermutu.

Dengan sejumlah legalitasnya, ke depan akan tampak di hadapan mata sejumlah model privatisasi pendidikan, baik yang nyata maupun terselubung. Bentuk nyata yang sudah terjadi ialah adanya cost sharing, di mana pembiayaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama masyarakat, seperti dibentuknya komite sekolah.

B. Efek Sosial Pendidikan Gratis Terhadap Mutu Pendidikan

Salah satu dampak dari pendidikan gratis adalah munculnya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi arus lainnya. Dalam hal ini, sekolah "dipaksa" untuk melengkapi dirinya dengan komputer dan peralatan canggih lainnya, seperti AC (pendingin ruangan) dan televisi. Akibat sampingan dari hal itu, seperti disinyalir anggota DPRD DKI Jakarta, seluruh sekolah penerima bantuan block grant di Jakarta telah menyalahi penggunaannya dengan mengalirkan bantuan untuk pembelian alat di luar keperluan anak didik (Kompas, 9 April 2005), yaitu pembelian alat yang bisa dijadikan alasan untuk pemenuhan KBK. Dari sini timbul kesan bahwa penggunaan sistem KBK, bila belum siap infrastruktur dan SDM-nya, akan menjadi alat industrialisasi.

Kemudian, pada sisi lain, pemerintah juga memberlakukan sistem "guru kontrak". Ke depan, tenaga pengajar layaknya pekerja pabrik yang bisa diputus kerja bila kontraknya selesai, sementara pemerintah tidak mau menanggung biaya di luar itu. Selain itu, kebijakan otonomi daerah juga menjadi alasan pemerintah untuk berbagi beban dalam pendanaan pendidikan. Walaupun dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang terjadi pengalihan kekuasaan dari pusat ke pemerintah daerah. Alhasil, pelaksanaan pendidikan dasar gratis dan bermutu kini berada di persimpangan jalan, sebab kelangsungannya sebagian menjadi wewenang pemerintah daerah.

Apalagi dengan adanya RUU BHP, pendidikan malah dijadikan sarana untuk menjadi penambahan pendapatan asli daerah (PAD). Hal itu dimungkinkan karena dengan adanya RUU tersebut, nantinya semua satuan pendidikan-termasuk pendidikan dasar dan menengah-wajib menjadi Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM), seperti yang tertera dalam Pasal 46 Ayat (4). Dengan menjadi BHPDM, maka pihak sekolah wajib meminta izin kepada pihak pemda. Di sinilah kekhawatiran akan pemanfaatan perizinan pendidikan menjadi pemasukan PAD akan terjadi.

Terakhir, dengan berubahnya status satuan pendidikan menjadi BHPDM maka nantinya tidak ada lagi sekolah dasar negeri, namun yang tersisa ialah sekolah yang dimiliki masyarakat ataupun pemda. Sementara pemerintah, di sisi lain, lepas tangan dan berkonsentrasi mengurusi biaya beban utang luar negeri yang kian membengkak. Di sinilah hal penting sedang terjadi, yaitu pelanggaran terhadap UUD 1945, khususnya Pasal 31, secara nyata dilakukan dengan sistematis oleh para penyusun UU dan PP, serta RUU di bawah UUD 1945.

Bila pemerintah ingin melepaskan tanggung jawabnya terhadap pelaksanaan pendidikan dasar gratis dan bermutu, maka UUD 1945 Pasal 31 perlu diamandemen. Bila hal itu tidak dilakukan, maka bagi yang tidak menjalankannya dianggap melanggar UUD 1945.

Pada dataran implementasi, pendidikan gratis mengandung sejumlah persoalan. Dari sisi kata gratis, benarkah pendidikan dapat benar-benar gratis. Masyarakat menafsirkan kata gratis alias tidak perlu membayar sama sekali. Sementara penjelasan Mendiknas Bambang Sudibyo (27/4) bahwa yang dimaksud dengan pendidikan gratis hanyalah pembebasan dari biaya SPP.

Bukan gratis versi masyarakat, melainkan versi pemerintah. Tetap ada pembiayaan-pembiayaan pribadi. Artinya, uang gedung, pengadaan buku, perlengkapan sekolah, ekstrakurikuler, ujian sekolah, bahkan praktikum pasti dibebankan.

Di Jawa Tengah, promosi gencar pendidikan gratis membawa keresahan bagi sekolah yang diselenggarakan swasta, karena sekolah gratis hanya ditujukan pada sekolah pemerintah. Jawaban bernada menyudutkan, kalau sekolah swasta ingin mendapat kesempatan pendidikan gratis, maka “dinegerikan” saja bukan alasan yang tepat. Pendirian sekolah swasta mempunyai perjalanan panjang dan kontribusi mereka pada pendidikan negeri ini tidak kecil. Maka, jika hanya demi pendidikan gratis, apalagi hanya komponen SPP, tentu tidak masuk akal. Namun, harus dicatat, iklan yang demikian gencar bisa merusak fair play dalam penerimaan siswa baru. Karena gencar diiklankan menjelang penerimaan siswa baru bisa jadi banyak anak berbondong-bondong masuk sekolah negeri.

Ironisnya, pelaksanaan pendidikan gratis sangat bergantung pada komitmen pejabat di kabupaten/kota plus ketersediaan anggaran. Meski iklan gencar, tapi kalau pejabatnya tidak peduli, mustahil ada realisasinya. Jika kebetulan sebuah kota/kabupaten mempunyai dana yang cukup, maka pendidikan gratis dapat dilaksanakan sepenuhnya. Maka perlakuan terhadap pendidikan gratis antardaerah tidak dapat disamakan begitu saja.

Kebijakan pendidikan gratis terbukti membuat masyarakat lebih reaktif terhadap pendidikan. Meski ada iklan pendidikan gratis, namun pungutan dari sekolah semakin membabi-buta. Di Semarang, pernah terjadi waktu seorang siswa meminta sekolah gratis justru dijawab guru, “minta ke koran atau televisi yang gencar memberitakan sekolah gratis.”

Penduduk mengistilahkan pungutan sebagai dampak pendidikan gratis sebagai “pungutan liar”, karena tidak lagi disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Hal ini sebanding dengan pernyataan iklan pendidikan gratis yang menyebabkan peran serta dan partisipasi masyarakat dalam pendidikan menurun. Masyarakat tidak mudah diajak untuk berpartisipasi dalam pendidikan. Situasi seperti ini dalam jangka panjang merugikan masyarakat sekolah itu sendiri.

Dari semua hal tersebut di atas, bagaimana mutu pendidikan di Negara kita bisa meningkat dengan adanya program ini sementara para penyelenggara asyik memperkaya diri dengan memanfaatkan moment ini.

C. Efek Sosial Pendidikan Gratis Terhadap Kesejahteraan Keluarga

Kebijakan pendidikan gratis telah diputuskan. Dana yang disediakan cukup besar. Dengan alokasi 20 persen total biaya pendidikan saat ini Rp 207 triliun. Rinciannya Rp 107 triliun gaji guru, Rp 60 triliun khusus operasional Depdiknas, dan Rp 16 triliun untuk pembiayaan BOS. Meski anggaran yang disediakan besar, pernyataan gratis tidak memenuhi semua kegiatan pendidikan.

Dana itu kelihatannya besar. Tetapi, tengok, misalnya, subsidi pendidikan bagi 22.295 siswa SD dan SMP di Jawa Tengah yang menghabiskan dana Rp 11 triliun pada 2009 (bdk. Taruna, 2009). Artinya, tanpa partisipasi masyarakat mustahil pendidikan gratis dapat terlaksana. Sekolah bermutu tidak pernah bisa gratis, karena berpengaruh terhadap kerja keras siswa dan orangtua meraih pendidikan.

Karena kata gratis merupakan kata yang menjebak dan memberikan harapan besar kepada masyarakat, akan lebih tepat kalau kata itu diganti sesuai realitas. Misalnya, pendidikan yang disubsidi. Atau pendidikan yang terjangkau. Kesan bombastis melekat dalam ungkapan gratis, karena kenyataan pungutan sekolah sering lebih mahal dari komponen yang digratiskan. Kata gratis memang mudah sekali diklaim keberhasilan elite politik tertentu. Padahal, fakta di lapangan gratis, tetapi masih banyak pungutan.

Penyelenggaraan pendidikan bermutu tidak lepas dari partisipasi masyarakat. Pernyataan Gubernur Jawa Tengah yang sempat memancing konflik dengan Komisi X DPR mewakili realitas masyarakat. Kata gratis membuat masyarakat enggan berpartisipasi sekaligus membuat masyarakat kian bergantung. Selama ini, masyarakat mengerti gratis tanpa pungutan tambahan, seperti sekarang ini. Penulis sepakat para tokoh yang sekarang menjadi “orang” di negeri ini bukanlah produk pendidikan gratis.

Untuk mengatasi kesenjangan pendidikan, tidakkah lebih baik, misalnya, pemerintah menerapkan konsep subsidi silang yang sudah lama dirintis oleh para penyelenggara pendidikan swasta? Mereka cukup berpengalaman mengelola subsidi silang dari anak-anak mampu kepada anak-anak miskin.

Model ini lebih berkeadilan daripada mengkampanyekan sekolah gratis. Masyarakat dan terutama orangtua adalah pilar penting pendidikan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Setiap program yang dibuat, tentunya akan menimbulkan dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif. Begitu pula dengan program pendidikan gratis, terdapat banyak dampak yang ditimbulkan.

Adapun dampak positif yang dapat terjadi adalah :

1. Meratanya pendidikan di Indonesia

2. Tingkat pendidikan di Indonesia akan meningkat

3. Mencerdaskan para penerus bangsa

4. Meningkatkan mutu dan kualitas sumber daya manusia

5. Negara dapat mengolah sumber daya alam sendiri tanpa bantuan pihak asing

6. Tingkat pengangguran akan berkurang

7. Tingkat kemiskinan akan turun

8. Memajukan pendidikan dan perekonomian bangsa

Selebihnya dampak negatif yang dapat terjadi adalah :

1. Kurang dapat berkembang karena biaya operasional sekolah sangat tergantung dari bantuan pemerintah

2. Orangtua tidak dapat menuntut banyak karena merasa telah mendapatkan kemudahan (pendidikan gratis)

3. Dana yang dikucurkan pemerintah menjadi sia-sia, jika orangtua kurang mendukung / memotivasi anaknya untuk bersekolah

4. Terjadinya penyelewengan dana jika kurangnya pengawasan yang ketat.